Pengertian Bhirul Walidaini yaitu mamberikan kebaikan kepada kedua orang tuanya serta menaati perintahnya,kecuali maksiat dan mendoakannya apabila telah wafat.(Q.S. 62:15 dan Q.S. 4:36)
BENTUK-BENTUK BHIRUL WALIDAINI
1. Saat orang tua masih hidup,caranya:
Menaatinya selama bukan maksiat.
Bersikap rendah hati dan berbicara lemah lembut.(Q.S. 17:23)
Memohonkan ampunan baginya atau mendoakannya.(Q.S. 17:24)
Membantu dengan harta.
Meminta restu terlebih dahulu atas perbuatan penting yang akan dilakukan.
2. Saat orang tua sudah wafat,caranya:
Menjalankan kepengurusan jenasahnya.
Berdo'a untuk memohon ampun.
Memenuhi segala janjinya saat masih hidup.
Menghormati teman dan sahabat sejak keduanya masih hidup.
Pendidikan
merupakan faktor penting yang mempunyai andil besar dalam memajukan suatu bangsa,bahkan peradaban manusia. Tujuan
pendidikan itu merupakan tujuan
dari negara itu sendiri. Pendidikan yang rendah dan berkualitasakan
terus mengundang para penjajah, baik penjajahan secara fisik maupun non
fisik,seperti penjajahan intelektual, pemikiran, ekonomi, sosial, politik dan
agama. Hal inisenada dengan ungkapan
“kebodohan bukanlah karena penjajahan tetapi kebodohanlah yang
mengundang penjajah”.
Bangsa Indonesia merdeka setelah
proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945.Kemerdekaan ialah terbebasnya suatu
bangsa dari belenggu penjajahan. Bangsa yang sudah merdeka dapat leluasa
mengatur laju bangsa dan pemerintahan untuk mencapai tujuannya. Benarkah
demikian? Kemerdekaan tidak sepenuhnya
menyelesaikan berbagai persoalan negara.Kemerdekaan politik sesudah masa
penjajahan oleh pemerintah Jepang dan Belanda itu lebih mudah dicapai
dibandingkan dengan rekonstruksi kultural masyarakat danrenovasi system
pendidikan kita.
Mengamati perjalanan
sejarah pendidikan pada masa penjajahanBelanda dan Jepang sungguh menarik dan
memiliki proses yang amat panjang.Belanda yang
menduduki Indonesia selama 3 ½ abad dan Jepang selama 3 1/ 2 tahun meninggalkan
kesengsaraan, mental dan kondisi psikologis yang lemah. Dengan misi gold,
glory dan gospelnya mereka mempengaruhi
pemikiran dan ideologi dengan doktrin-doktrin Barat.
Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk
praktek pendidikan : praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan
Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonianl Belanda, pendidikan zaman
pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono: 1985).
Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang
berbeda-beda.Beberapa
praktek pendidikan yang telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia adalah:
pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan
sampai pada tahun 1965, yang sering kita sebut sebagai orde lama, praktek
pendidikan dalam masa pembangunan orde baru, dan praktek pendidikan di era
reformasi sekarang.
Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan telah mengalami perkembangan
pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan memberikan gambaran
yang penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha penting dari pemerintah
Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik yang telah berjasa dalam zaman
kolonial menjadi menteri pengajaran.Dalam kongres pendidikan, Menteri Pengajaran
dan Pendidikan tersebut membentuk panitia perancang RUU mengenai
pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah system
pendidikan yang berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesia sendiri.
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai
tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan
Belanda. Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan
Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum
pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "PANGREH PRAJA". Praktek
pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan
anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan
atas.
Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah
demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang
bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan
kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan
diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari
kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara
pendidikan untuk orangpribumi.Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda.
Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda)
memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya
berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang
singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat
signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan
disatukan tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing dengan pengantar
bahasa Belanda. Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan setelah
bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah
Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada
budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan
nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap
dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk
negara.
Praktek pendidikan selepas
penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek
pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial,
politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik
terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan
nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu
sendiri.Berdasarkan hal tersebut di atas maka kami menulis makalah mengenai
“ SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA PADA MASA BELANDA, JEPANG DAN SETELAH
KEMERDEKAAN “
2.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang dipaparkan di
atas, maka kami merumuskan, pokok permasalahan :
1.Bagaimana Konsep Pendidikan di Indonesia?
2.Bagaimanakah sistem pendidikan
Indonesia pada masa Belanda?
3.Bagaimanakah sistem pendidikan
Indonesia pada masa Jepang?
4.Bagaimanakah sistem pendidikan
Indonesia pada masa setelah kemerdekaan (Orde Lama,Orde Baru,dan
Reformasi)?
3.Tujuan dan Manfaat
penulisan
a.Tujuan Penulis :
Untuk mendeskripsikan perkembangan
dan perbedaan system pendidikan yang telah berlaku di Indonesia khususnya pada
masa pendudukan Jepang, Belanda, dan setelah kemerdekaan.
b.Manfaat Penulisan
Semakin menambah
pengetahuan kami tentang perkembangan dan perbedaan system pendidikan yang
telah terjadi di Indonesia pada setaip dekade pemerintahan. Selain itu, juga
melatih kami dalam membuat atau menuliskan suatu karya ilmiah. Juga diharapkan
dapat memperkaya ilmu pengetahuan yang ada, terutama bagi mahasiswa.
4.Metodologi Penulisan
Metode merupakan cara utama
yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan misalnya untuk menguji
serangkaian hipotesa, dengan menggunakan teknik serta alat – alat tertentu.
Dalam penulisan ini digunakan metode kepustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Konsep
Pendidikan di Indonesia
Menurut SK Dirjen Dikti No.32/DJ/Kep/1983 menyebutkan
bahwa komponen mata kuliah dasar umum (pendidikan umum) diarahkan untuk
melengkapi pembentukan kepribadian bidng dengan pengembangan kehidupan pribbadi
yang memuaskan,keanggotaan keluarga yang bahagia,dan masyarakat yang produktif.
Dalam buku Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan
menyatakan bahwa komponen dasar umum diarahkan kepada pembentukan warga Negara
pada umumnya dengan kompetensi personaal,sosial,serta kultural.
Dalam SK Mendiknas no.008-E/U/1975 menyebutkan bahwa
Pendidikan Umum ialah pendidikan yang bersifat umum,yang wajib diikuti oleh
semua siswa dan mencakup program Pendidikan Moral Pancasila yang berfungsi bagi
pembinaan warga negara yang baik.
Pendidikan Umum itu memiliki beberapa tujuan:
a.Membiasakan siswa berfikir objektif,kriitis dam
terbuka.
b.Memberikan pandangan tentang berbagai jenis nilai
hidup,seperti kebenaran,keindahan dan kebaikan.
c.Menjadi manusia yang sadar akan dirinya,sebagai
makhluk,sebagai manusia,dan sebagai pria dan wnita,serta sebagai warga negara.
d.Mampu menghadapi tugasnya,bukan saja menguasai profesinya,tetapi karena mampu mengadakan
bimbingan dan hubungan sosial yang baik dalam lingkungannya.
Dengan demikian Pendidikan Umum membina pribadi yang
utuh,terampil berbicara,menggunakan lambang dan isyarat,mampu berkreasi dan
menghargai hal-hal yang secara menyakinkan estetika, ditunjang oleh kehidupan
yang berharga dan disiplin dalam hubungan pribadi dan pihak lain memiliki
kemampuan membuat keputusan yang bijaksana,serta memiliki wawasan yang
integral.
Adapun Makna-makna Program Pendidikan Umum Indonesia
berkaitan dengan pola-pola pada materi pokok adalah sebagai berikut:
1.Pola Simbolik
Dengan pola ini siswa dibimbing untuk dapat memiliki
kemampuan dalam berbahasa,membaca angka-angka,mengenal tanda-tanda hitung,dan
dapat menggunakan simbol-simbol untuk mengepresikan makna-makn yang
terstruktur.Pola ini dapat dicapai dengan mengajarkan pelajaran Bahasa dan
Matematika.
2.Pola Empiric
Dalam pola ini siswa dibimbing untuk dapat memilki
kemampuan dalam mendeskripsikan fakta-fakta empiris,membuat generalisasi atau
formulasi teoritis tentang gejala-gejala alam,sosial dan jiwa manusoia.Pola ini
dapat di penuhi dengan mengajarkan Fisika,Biologi,Psikologi,dan Ilmu-ilmu
Sosial.
3.Pola Estetik
Dalam pola ini siswa dibimbing untuk dapat memiliki ke
mampuan berapresiasi dan berkreasi.Dengan demikian siswa mampu mengapresiasi
berbagai objek visual yang mengandung nilai-nilai estetik dalam lingkungan
kehidupannya,serta mampu berkreasi denngan memenuhi syarat-syarat estetika yang
telah didalaminya.Pola ini dapat dipenuhi dengan mengajarkan
seni,kesusatraan,dan filfasat.
4.Pola Synoetik
Dengan pola ini siswa dibimbing untuk dapat memiliki
kemampuan memandang dan menyadari keberadaan nilai-nilai secara langsung dalam
arti dapat merasakan dan menyadari bahwa keberadaan dirinya diberi arti oleh
keberada orang lain dilingkungannya,sehingga siswa mampu menghayati tentang
keberadaan hidup bersama dalam maasyarakat.Pola ini dapat diterapkan dengan
mengajarkan filsafat,kesenian,pendidikan agama,dan ilmu sosial.
5.Pola Etika
Dalam pola Etika siswa dibimbing untuk dapat memiliki
kemampuan tentang moralitas,sehingga dalam hidupnya senantiasa bertindak dengan
memperhatikan pertimbangan nilai,norma,etika,sopan-santun dan hukum positif
yang ada dan dijujung tinggi oleh masyarakat.Hal itu akan menjadi pola fikir
,sikap dan tindakannya bersifat etis.Pola ini dapat dipenuhi dengan memberikan
etika,moral,filsafat dan agama.
6.Pola Synoptik
Pola ini menentukan
terbentuknya kemampuan dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan
nilai-nilai n=baik dan buruk pada persoalan yang dihadapinya.Dalam pola ini ternasuk
kemampuan meyakini dan mengimani sesuatu pandangan hidup.Pola ini dapat
dipenuhi dengan memberikan pengajaran Agama,moral,sejarah,kebudayaan,dan
filsafat.
B.Pendidikan Pada Masa
Kolonial Belanda
Pemerintah kolonial Belanda mempunyai ambisi dan
strategi sendiri ketika menerapkan pola pendidikan modern. Pada awalnya,
Pemerintah Kolonial Belanda hanya memberikan model pendidikan pada anak bangsa
yang berupa sekolah ongko loro dan ongko
siji. Sekolah ini bertujuan agar anak bangsa mendapatkan pendidikan satu
tahun dan tiga tahun saja, di mana materi yang diberikan berupa ketrampilan
berhitung, membaca, dan menulis sederhana. Ketrampilan ini jelas dibutuhkan
untuk membantu tugas-tugas administrasi pemerintah Kolonial Belanda sendiri.
Hal ini dilakukan karena di satu sisi pemerintah Belanda ingin mendapatkan
tenaga administrasi level bawah yang bergaji rendah, di sisi lain Belanda tidak
ingin memberikan sepenuhnya ilmu pengajaran dan pengetahuan bagi anak bangsa
yang status sosialnya dipandang rendah. Pemerintah Kolonial Belanda memberikan
persyaratan bagi siswa yang masuk di sekolah ongko siji dan loro. Syarat
utamanya adalah latar belakang keningratan bagi siswa-siswanya.
Namun demikian, setelah munculnya politik etis yang
dimotori van Deventer dan Baron van Hoevel, maka terjadi perubahan kebijakan
pendidikan di Indonesia. Sistem persekolah dan kurikulum mengalami banyak
perubahan. Semula jenjang pendidikan terlama di bangku sekolah dasar hanya tiga
tahun, dengan kebijakan baru berubah menjadi 5 (lima) tahun dan 6 (enam tahun).
Model persekolahan ini dinamakan schakel school dan HIS (Holland Inlandsche
School). Materi pengajaran mengalami perubahan yang cukup banyak. Tingkat
kesulitan mengalami peningkatan dan tidak setiap anak bangsa bisa menjadi siswa
di sekolah ini. Kedua sekolah ini tetap mempertahankan sistem lama dalam
penerimaan siswa baru. Mereka yang berasal dari kalangan rakyat biasa tetap
tidak diperbolehkan memasuki jenjang pendidikan HIS. Mereka yang berasal dari
kalangan priyayi rendah, tentu saja harus ngenger dahulu agar dapat diterima
menjadi siswa sekolah ini. Bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar dalam
kegiatan belajar di sekolah ini.
Sebagai pembanding, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan
pula ELS (Eropesch Lagere School) sebagai sekolah dasar untuk anak-anak eropa
dan China Lagere School bagi anak-anak keturunan Tionghoa. Sekolah ini jelas
bukan milik kaum pribumi yang secara sosial berada di bawah posisi orang Eropa
dan China.
Di tingkat lanjut, pemerintah Kolonial Belanda
mendirikan MULO yang setingkat SMP
jaman sekarang. Kurikulum yang dipergunakan semakin lengkap. Bahasa Belanda
tetap menjadi bahasa pengantar. Selain itu diajarkan bahasa Perancis dan
Inggris. Tidak setiap anak bangsa bisa memperoleh pendidikan tingkat ini.
Banyak kendala rasialis dan sosial yang menghalangi anak bangsa untuk
memperoleh kesempatan ini. Jika dibandingkan jaman sekarang lulusan MULO
sebanding kualitasnya dengan lulusan S-1 sekarang. Bagi lulusan MULO maka ia
berhak mendapatkan tempat pekerjaan di struktur kepegawaian negeri maupun
militer pemerintah Kolonial Belanda.Pengembangan aspek kepegawaian dan sistem
birokrasi pemerintah Kolonial Belanda yang semakin lengkap, jelas membutuhkan
pegawai lokal yang lebih cerdas. Oleh karena itu, dengan jumlah lulusan MULO
yang tidak banyak maka kebutuhan akan jumlah kepegawaian itu dapat
terpenuhi.
Pada level yang tertinggi, kebijakan Kolonial Belanda
menjelang pertengahan abad ke-20 mulai mendirikan sekolah setingkat SLTA
sekarang dengan sebutan AMS (Algemens Middlebars School) dan HBS (Hoogere
Bourgere School). Minimal anak bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki
jenjang sekolah ini. Untuk AMS ditempuh selama 3 (tiga) tahun, sedangkan untuk
HBS ditempuh 5 (lima) tahun. Siswa yang bersekolah di HBS secara sosial ia
adalah pribumi yang sudah disamakan derajatnya dengan bangsa Eropa/Belanda.
Pada pendidikan tingkat ini, kualitas menjadi sebuah ukuran mutlak. Oleh karena
pola pendidikannya yang disiplin dengan kurikulum yang jelas maka dengan
sendirinya menghasilkan alumni yang disegani oleh siapa saja.
Para alumninya
antara lain:Soekarno, Hatta, Sutan
Syahrir, Syafruddin Prawiranegara, Soetomo, Cipto Mangunkusuma, A. Rivai,
Suwardi Suryaningrat, dan sebagainya.
Sangat jelas bahwa sistem pendidikan masa Kolonial
Belanda sangat diwarnai oleh dualisme pendidikan. Di satu sisi, adanya politik
etis tersebut pemerintah menyetujui untuk memberikan politik balas jasa bagi
pribumi dengan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun di sisi lain,
pribumi tetap dipelihara seperti sediakala. Pendidikan yang diberikan pada
pribumi jelas tidak sama dengan pendidikan yang diberikan pada anak-anak
Belanda, Tionghoa, dan Eropa lainnya. Hanya anak kaum bangsawan tinggi yang
diperbolehkan memasuki sekolah seperti MULO, AMS, dan HBS. Akibatnya pemerintah
tetap melestarikan rust en orde, yaitu sebuah kestabilan politik di bawah
kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan benih-benih ketidakpuasan dari
kaum intelektual yang mungkin terlahir dari sistem dan kebijakan Belanda
sendiri.
Betapa sulitnya kaum pribumi untuk menaiki tangga
mobilitas sosial. Hambatan sosial yang berupa latar keningratan dan kebangsawan
menjadi batu sandungan yang berat bagi anak bangsa yang ingin memperbaiki nasib
diri dan bangsa. Bagi mereka yang tak sempat mengenyam bangku AMS dan HBS,
tentu saja lebih memilih memasuki jenjang pendidikan guru yang setingkat dengan
MULO dan AMS sendiri namun dengan kualitas keilmuan dan gengsi di bawahnya.
Menjadi guru toh merupakan jenjang kepriyayian yang dicita-citakan meski berada
pada posisi terbawah model birokrasi Kolonial Belanda.
Pada aspek materi, jelas sekaliada perbedaan yang cukup mendasar antara jenjang pendidikan HIS,
MULO, dan AMS. Namun ada kesamaan di antara jenjang yang berbeda tersebut yaitu
materi kebangsaan Belanda yang tercermin dalam pelajaran sejarah, ilmu budaya,
civic education, dan bahasa. Semua ilmu ini merupakan bagian dari propaganda
Belanda agar masyarakat memperoleh kesadaran berbangsa dan loyalitas terhadap
eksistensi ratu Belanda. Adapun kelebihan pendidikan masa Kolonial Belanda
adalah aspek kualitasnya
yang terjamin. Hal ini terlihat pada standar input, proses, pembiayaan,
sarana-prasarana, dan standar lulusan setiap tahunnya. Pada standar input
jelas sekali dapat terlihat kualitas siswa yang masuk. Mereka yang tercatat
sebagai siswa tidak hanya berlatar belakang sosial yang tinggi, namun juga
proses seleksi intelektual menjadi sebuah ukuran yang mutlak. Pada standar
proses, terlihat bahwa kelas dengan jumlah siswa yang kecil, maksimal 25 siswa
menjadi ruang yang penuh mekanisme pengawasan, pembinaan, dan pengajaran yang
sangat optimal. Apalagi dengan guru-guru yang menguasai ilmu mengajar yang
mumpuni, tanggung jawab dan dedikasi yang sepenuhnya, serta pola pengajaran
searah namun keras dan penuh disiplin, tentu saja akan melahirkan jalannya
kegiatan belajar yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.Pada
standar pembiayaan, jelas bahwa adanya siswa yang mayoritas berasal dari
kalangan bangsawan tinggi akan memberikan sokongan dan dukungan dana bagi
pengembangan sekolah. Mereka yang kaya akan berusaha memberikan partisipasi
dana yang maksimal agar anak-anaknya bisa sukses di sekolah.
Adanya dukungan dana dari orang tua dan statusnya
sebagai sekolah negeri sudah pasti menjadikan sarana dan prasarana lebih
lengkap. Perpustakaan dengan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris menjadi
koleksi utama semua sekolah dari HIS sampai dengan HBS.Semuanya yang sudah
dijelaskan di atas pada akhirnya akan bermuara pada kualitas lulusannya yang
hebat dan mumpuni di bidangnya. Konon, saking hebatnya lulusan AMS maka banyak
orang yang mengatakan bahwa kualitasnya sama dengan lulusan S-2 jaman sekarang.
C.Pendidikan di Zaman Pendudukan Jepang
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan
wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi
Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand,
Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan
ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep“Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia
Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis ini pun menargetkan
Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan
konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola
pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang
sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan
Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan,
Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada
Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait
pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era
kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
1.Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda;
2.Adanya integrasi sistem pendidikan dengan
dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan
Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu
kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1.Pendidikan Dasar (Kokumin
Gakko / Sekolah Rakyat).
Lama studi 6 tahun.
Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah
dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
2.Pendidikan Lanjutan.
Terdiri dari Shoto Chu
Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko
(Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
3.Pendidikan Kejuruan.
Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara
lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
4.Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang
mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera (Pusat Tenaga Rakyat) di bawah
pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret
1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi.
Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang
tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka.
Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan
sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize
(Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan
yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa
pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk
menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu
(propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat
menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar
memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya.
Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain:
1.Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu;
2.Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat
Jepang;
3.Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang;
4.Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta
5.Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk
pembinaan kesiswaan.
Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk
rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini:
1.Menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap
pagi;
2.Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat
Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi;
3.setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa,
bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya;
4.Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso,
senam Jepang;
5.Melakukan latihan-latihan fisik dan militer;
6.Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam
pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan
ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda
dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS,
sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin
di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses
resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa
China).Kondisi ini antara lain
memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam
Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnyasekolah-sekolah yang bertipe akademis
diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan
untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang
untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah
Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap
tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi
dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan
lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang
mengambil beberapa kebijakan antara lain:
(1) Mengubah
Kantor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis
menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
(2) Di daerah-daerah dibentuk Sumuka( Pondok pesantren)
sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang.
(3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang
mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan
K.H. Zainal Arifin.
(4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
(5) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis
membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI
di zaman kemerdekaan dan
(6) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)
terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis
Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam,
Muhammadiyah dan NU.
Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai
aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan
Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
D.Pendidikan
Masa Indonesia Merdeka
Pada dasarnya pendidikan pada masa Indonesia Merdeka
tak jauh dengan sistem persekolahan hasil kebijakan pendudukan Jepang di atas.
Pada masa ini, kualitas pendidikan masih dikatakan stabil dengan kurikulum
mencomot dari apa yang dilakukan penguasa Jepang terhadap rakyat Indonesia.
Hanya saja, karena persoalan revolusi yang belum selesai dan kemelut politik
yang terus-menerus, maka sektor pendidikan menjadi korban kebijakan politik.
Pendidikan mengalami sedikit pengabaian. Pendidikan di tingkat atas agak
diabaikan sementara oleh pemerintah Indonesia sendiri.
Pada masa awal kemerdekaan
ini, guru-guru bekas pengajar pada masa kolonial Belanda
dipekerjakan kembali meskipun dengan gaji yang lebih kecil. Kondisi yang
berubah membuat mereka tidak terbiasa dengan keadaan. Banyak dari mereka yang
masih menerapkan pola pengajaran ketat dan disiplin ala Belanda, sehingga
cenderung menghasilkan setidaknya mutu lulusan yang sama dengan masa Kolonial
Belanda.
Pada masa Orde Baru, pendidikan mengalami perubahan yang cukup
signifikan. Agar bangsa Indonesia memiliki kualitas pendidikan yang sama dengan
negara-negara maju lainnya, maka secara kuantitas dibangunlah semua sarana
pendidikan di setiap daerah. Alhasil, sekolah begitu banyak berdiri di tanah
air. Secara kuantitatif pendidikan mengalami perkembangan yang pesat. Setiap
anak dapat bersekolah dengan mudah. Namun di sisi lain, kualitas tidak bisa
terjaga dengan baik. Kekurangan guru yang baik menjadi problematika pemerintah
Indonesia. Sekolah Pendidikan Guru yang berdiri pada awal kemerdekaan tidak
cukup menyediakan lulusannya yang siap pakai. Jumlah sekolah melebihi kapasitas
guru yang ada. Akibatnya, pemerintah mengambil jalan pintas. Semua lulusan
setingkat SLTA diperbolehkan menjadi guru meski mereka tidak memiliki kemampuan
dan ketrampilan sebagai guru yang layak.
Di daerah-daerah, terjadi kemerosotan pendayagunaan
sarana dan prasarana. Artinya terjadi jurang pemisah yang sangat tajam antara
sekolah desa dengan sekolah di pusat perkotaan. Sekolah desa hanya mengandalkan
kebijakan pusat yang bersifat proyek. Pembangunan ruang kelas berhasil, namun
penyediaan sarana dan prasarana lainnya tidak mendukung. Sementara itu, sekolah
perkotaan dengan bantuan orang tua siswa dan akses yang mudah pada pemerintah
pusat mendapatkan bantuan buku-buku perpustakaan dan sarana pendukung lain yang
baik.
Pada masa ini, kualitas lulusan siswa tidak sebanding dengan
perkembangan sarana pendidikan di Indonesia. Sekolah begitu banyak namun
tingkat kualitasnya mengalami penurunan bila dibandingkan dengan periode
sebelumnya. Agaknya beban kurikulum yang terlalu lebar tidak sepadan dengan
kemampuan kognitif siswa yang harus menyerap semua informasi dan pengetahuan.
Di sisi lain, perubahan kurikulum terjadi hampir
setiap 10 (sepuluh) tahun. Kurikulum 1978 diganti dengan munculnya kurikulum
1984. Kurikulum 1984 diganti dengan kurikulum 1994. Demikian pula kurikulum
1994 mengalami beragam tambahan yang dibuktikan dengan adanya suplemen 1994.
Agaknya perubahan kurikulum tersebut dilaksanakan
karena terkait dengan perkembangan jaman. Tuntutan perbaikan kualitas dan juga
kepentingan politik tertentu melahirkan kebijakan-kebijakan yang sarat dengan
kepentingan ideologi. Contohnya adalah pemberlakuan materi PSPB pada kurikulum
1984 yang sarat dengan muatan ideologis dan politis. Demikian pula salah satu
syarat kenaikan kelas seorang siswa harus mendapatkan nilai minimal 6,0 dengan
skala 1 sampai dengan 10 pada nilai raport. Jika nilai dibawah itu, maka siswa
tidak dapat naik kelas meskipun pelajaran lain mendapat 9 (sembilan).
Pada masa pemberlakuan kurikulum 1984 ini model
pembelajaran yang sangat terkenal adalah CBSA atau Cara Belajar Siswa Aktif di
mana guru memberikan peluang dan respon bagi siswa yang memang memiliki
kecerdasan dan kepintaran. Sistem ini dipergunakan untuk merubah model
pengajaran yang kaku dan statis seperti yang dilaksanakan pada masa sebelumnya.
Pendidikan Masa Reformasi , jelas sekali kebijakan yang dihasilkan terkait dengan
aspek politik dan ekonomi. Munculnya suplemen 1999 juga dalam rangka
kepentingan politik yang mendasarinya. Namun semenjak penataran P-4 (Eka
Prasetya Pancakarsa) ditiadakan maka dunia pendidikan dikembalikan pada posisi
yang semestinya.
Pada tahun 2004 mulai diberlakukan kebijakan kurikulum
baru. Kurikulum berbasis kompetensi menjadi jawaban atas perkembangan jaman.
Kurikulum ini berusaha untuk memberikan solusi atas perubahan jaman dan
globalisasi yang melanda dunia mana saja.
Namun demikian, dunia pendidikan bukan berarti lepas
dari persoalan yang ada. Pembaharuan kurikulum ternyata tidak diimbangi dengan
manajemen dan kebijakan baru dalam menjaga mutu dan kualitas lulusan. Ujian
nasional dengan pemberlakuan standar nilai yang dilakukan secara terpusat telah
memberangus standar proses yang seharusnya menjadi titian utama kurikulum
2004.
Di sisi lain, masalah kesejahteraan guru menjadi satu
faktor yang belum dituntaskan pada masa reformasi ini. Kesejahteraan guru mulai
diperhatikan ketika era Presiden Abdurrahman Wahid menaikkan gaji guru hingga
sama dengan pegawai negeri lainnya. Pada akhirnya era Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, kesejahteraan guru dan anggaran pendidikan 20% disahkan melalui undang-undang
guru dan dosen serta sistem pendidikan nasional. Sertifikasi guru dilaksanakan
secara menyeluruh dengan konsekuensi guru mendapatkan penghasilan tambahan
sebesar satu kali gaji pokok.
Kurikulum 2006 akhirnya diberlakukan pula dalam
menekankan makna keberfungsian semangat kompetensi dan kepentingan lokal. Tidak
hanya itu saja, pemerintah juga memberikan subsidi dana bagi sekolah dari
tingkat dasar sampai SLTP lewat Dana Bos. Di samping itu, pemerintah
memberlakukan MBS sebagai model manajemen sebuah sekolah yang efektif dan
efisien. Pemerintah pula memilah dan mencoba memberikan kriteria bagi upaya
peningkatan kualitas sekolah secara utuh. Kriteria SSN, akselerasi, imersi,
RSKM, SKM, RSBI, dan SBI menjadi sesuatu yang lazim ada situasi persekolahan saat
ini.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pergantian era kekuasaan sangat mempengaruhi model dan
kebijakan pendidikan yang dihasilkan. Pendidikan memang tidak bisa terlepas
dari situasi politik sebuah bangsa. Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan pendidikan
sebagai sarana memperoleh tenaga kerja di bidang administrasi tingkat rendahan.
Pendidikan tingkat lanjut hanya diprioritaskan pada kalangan bangsawan
semata.
Pada masa Jepang, pendidikan tak lepas dari propaganda
Jepang yang disisipkan pada materi pelajaran dari tingkat SD sampai dengan
SLTA. Akibatnya, semua rakyat mengakui kehebatan dan superioritas Jepang
sebagai bangsa maju di kawasan Asia Pasifik. Mereka melaksanakan apa yang
diharapkan Jepang yaitu sebagai serdadu yang siap maju di medan perang seperti:
Romusha, Heiho, dan Peta.
Sebaliknya, pada masa Indonesia merdeka pendidikan
diarahkan sebagai medium pembangkit rasa nasionalisme. Karena keadaan tertentu,
periode ini tidak banyak pengembangan pendidikan yang bisa diharapkan. Secara
kualitas, pendidikan tetap terjaga mutunya hanya pendirian bangunan sekolah
tidak banyak artinya. Pada masa Orde Baru, perubahan kurikulum senantiasa
silih berganti. Perubahan dilaksanakan dalam rangka mengantisipasi kepentingan
global yang berubah. Hal ini pun masih dilanjutkan dengan pergantian kurikulum
pada era reformasi. Kurikulum 2006 merupakan alternatif terakhir dari bangunan
kurikulum dalam sejarah Indonesia. Artinya, pemerintah tetap belajar dari
pengalaman. Lintasan pendidikan yang berusia cukup tua pada akhirnya
menghasilkan kebijakan yang penuh nuansa keberpihakan pada esensi pendidikan
itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Jalaludin, 1990. Kapita
Selekta Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia.
Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai.
Tilaar, H.A.R. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional
Indonesia 1945-1995. Jakarta: Gramedia Widiasarana.